Sabtu, 27 April 2024
Home
 

Joko Widodo dan Media Darling
Senin, 19/Oktober/2015 - 10:22:03 WIB
Tidak mudah bagi tokoh publik menjadi media darling. Ada beberapa prasyarat yang harus dimiliki agar orang tersebut layak dicintai oleh media. Salah satunya yang bisa menembus prasyarat tersebut adalah Presiden Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi.

Retno Wulandari, praktisi PR dari Solo, memberi contoh sosok Jokowi yang menjadi media darling semenjak dia menjabat walikota Solo. Menurut penulis buku “Media Darling ala Jokowi”(Gramedia, 2014) ini, sosok Jokowi menarik bagi media karena dia menampilkan diri sebagai sosok yang otentik, rendah hati, terbuka dengan media, dan selalu mengeluarkan pemikiran maupun program out of the box yang memang memiliki nilai berita yang tinggi.

Menurut Retno, menyitir buku yang ia tulis, aksesibilitas yang diberikan Jokowi kepada media menjadi penting. Aksesibilitas ini penting untuk membangun kedekatan dengan media. Sejak belum dikenal publik pun, Jokowi pun sudah mudah dihubungi oleh media.

“Ramah pada wartawan, selalu menjawab pertanyaan wartawan, dan gampang dihubungi oleh wartawan itu menjadi strategi Jokowi untuk bisa menjadi media darling,”kata Retno yang juga PR The Sunan Hotel Solo tersebut.

Poin kedua Jokowi sebagai media darling adalah persahabatan yang dibangun Jokowi dengan wartawan. Persahabatan ini dibangun berlandaskan empati dan keramahan pada pekerja media. Tak segan-segan, bila Jokowi kala itu sering mengundang para wartawan untuk makan bersama tanpa agenda apa pun selain membangun kedekatan dengan mereka.

Selain itu, pemikirannya yang sering out of the box, menjadi daya tarik tersendiri bagi pekerja media.

Retno menyatakan, pemikiran tersebut lahir bukan sekadar konseptual, tetapi berangkat dari aktivitasnya “blusukan”di tengah-tengah warga. Retno mencotohkan, Jokowi saat menjadi wali kota Solo berusaha keras menghadirkan bus tingkat, rail bus, mobil Esemka, maupun memindahkan Pedagang Kaki Lima dengan cara kirab yang melibatkan ribuan orang.

Yang tak kalah penting untuk menjadi media darling, sambung Retno, adalah otentisitas. Dalam konteks Jokowi, Retno melihat apa yang dilakukan Jokowi selama menjadi walikota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta kala itu merupakan sesuatu yang memang ia kerjakan sebagai seorang pejabat. Memang, dia sering dituding hanya melakukan pencitraan. Retno menulis, Jokowi bukan model pemimpin salon yang baru akting ketika ada kamera menyoroti. Jokowi, di mata Retno, tampil apa adanya.

Faktor lain yang menjadikan Jokowi sebagai media darling adalah karakternya yang tidak mau berpolemik. Dalam kasus-kasus tertentu, Jokowi memilih sikap andhap asor alias rendah hati.

Retno menambahkan, Jokowi memiliki kemampuan memposisikan diri sedemikian rupa di media. Paling tidak, Jokowi sadar akan media. Jokowi pintar memanfaatkan momentum yang layak menjadi sorotan media.

“Jokowi menyadari pergeseran tren media dari teks ke gambar. Jokowi sering masuk headline surat kabar dengan gambar visual yang menarik. Istilah simpelnya, eye catching banget. Misalnya, saat masa pilpres, Jokowi lebih memilih mencium bedera merah putih di perkampungan Marunda dengan baju Si Pitung. Dan, semua media memuat foto Jokowi tersebut,”kata Retno.

Retno menyimpulkan, adegan mencium bendera itu bukan sekadar mencium bendera. Retno meyakini ada pesan lain yang ingin disampaikan oleh Jokowi kala itu. Tak hanya itu, Jokowi selama menjadi wali kota Solo juga sering memanfaatkan event bertaraf nasional dan internasional untuk publikasi Solo dan dirinya.

Hal senada juga disampaikan oleh Bayu Widagdo, Wakil Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia. Bayu menilai apa yang disampaikan Jokowi itu simpel dan sederhana. “Tidak rumit dan ngawang-awang. Sosok Jokowi juga terbuka terhadap media. Ia gampang banget dihubungi media. Tidak terlalu birokratis dengan Jokowi. Sekarang sedikit beda karena karena aturan protokoler presiden,”katanya.

Apakah masih menjadi media darling saat ini? Menurut Bayu, Jokowi masih menjadi media darling meski naik turun. Bayu menilai kunci utama untuk mempertahankan posisinya sebagai media darling adalah konsistensi. Ketidakonsistenan ini bisa terjadi, sambung Bayu, karena ada komunikasi yang tidak sampai ke masyarakat.

Hal yang sama juga disampaikan Retno yang mana media darling ini memiliki fase naik turun dan berdinamika. Posisi media darling ini bisa terancam bila ada kesenjangan antara harapan dan kinerja Jokowi saat ini.

Tak pelak, melihat kondisi ini, saat menghadiri Silaturahmi Pers Nasional, Jokowi disematkan jaket Pers berwarna merah putih.

Presiden Jokowi disematkan jaket bertuliskan 'Media Darling' di dada kiri. Sementara di bagian punggung tertulis 'Pers Indonesia'. Penyematan dilakukan oleh Ketua Umum PWI Margiono di Auditorium TVRI, Jl Pemuda, Jakarta Pusat, Senin (27/4/2015).

‎Margiono mengatakan penyematan jaket tersebut, sebagai bentuk pengukuhuan Presiden Jokowi sebagai media darling. Sebab, dalam peringatan Hari Pers Nasional yang digelar beberapa waktu lalu di Batam, muncul diskusi tentang sosok Jokowi yang menjadi media darling.

"Dalam diskusi di Batam, Presiden ini media darling, medianya ada tapi darlingnya ngga ada,” tuturnya disambut tepuk tangan.

Mungkin itu dulu. Sekarang persoalannya malah terbalik. Pers Tanah Air sudah tidak lagi menjadi media darling bagi Presiden RI ke-7 tersebut. Media tidak lagi mau membantu tujuan dan arah pemerintahan dibawah kepemimpinan Joko Widodo – Jusuf Kalla.


Bagi penulis, media sekarang terkesan tidak lagi menjadi media darling bagi perjalanan satu tahun pemerintahan Jokowi-JK. Ada empat catatan yang meski dilakukan media darling Jokowi untuk membantu perbaikan-perbaikan ke depan. Ada satu hal yang sudah baik menurut kacamata penulis, yakni politik dan keamanan (Polkam).

Empat masalah yang harus dibantu media darling tersebut, pertama merubah menset aparatur, kedua, politisi korup, ketiga, balas dendam oposisi, dan keempat persoalan pengusaha hitam.

Penulis mencoba menguraikan empat persoalan yang harus menjadi perhatian media darling. Merubah menset aparatur sangat erat kaitannya dengan agenda pokok Jokowi-JK yakni revolusi mental. Hingga hari ini, menset aparatur pemerintahan masih berkiblat kepada konsep orde baru, yakni minta dilayani, bukan untuk melayani.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dan dijalankan dengan sepenuh hati, diyakini akan merubah pola pikir aparatur di negara ini.
"Pegawai ASN berkedudukan sebagai unsur aparatur negara, yang melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan Instansi Pemerintah, harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik," bunyi Pasal 8 dan Pasal 9 Ayat (1,2) Undang-Undang ini.

Pejabat dalam jabatan administrator menurut UU ini, bertanggung jawab memimpin pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. Adapun pejabat dalam jabatan pengawas bertanggungjawab mengendalikan pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh pejabat pelaksana; sementara pejabat dalam jabatan pelaksana melaksanakan kegiatan pelayanan publik serta administrasi pemerintahan dan pembangunan. "Setiap jabatan sebagaimana dimaksud ditetapkan sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan," bunyi Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 ini.

"Untuk setiap jabatan Pimpinan Tinggi ditetapkan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan," bunyi Pasal 19 Ayat (3) UU ini sembari menambahkan, ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak jabatan dan integritas, serta persyaratan lain yang dibutuhkan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jika dilihat dari penggalan pokok-pokok UU ASN, media darling hendaknya melakukan kontrol sosial terhadap UU yang dimaksud, sehingga proses dan pelaksanaannya berjalan sesuai rencana sehingga tujuan untuk merubah pola pikir aparatur bisa tercapai.

Kedua, politisi korup. Hal ini sangat erat kaitannya rekrutmen partai politik (Parpol) dalam menempatkan orang-orang dalam birokrat, seperti kepala daerah, dan anggota legislatif (DPR, DPRD provinsi dan kabupaten, kota).

Siswanto, peneliti P2P LIPI dalam tulisannya yang dirilis dari kompas.com, menyebutkan, sistem kekerabatan di sini diartikan sebagai hubungan antar-entitas yang mempunyai latar silsilah sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Dalam sistem kekerabatan, dikenal istilah keluarga inti (hubungan kekerabatan yang terjadi karena tali pernikahan: suami, istri, dan anak). Dikenal pula keluarga luas, yaitu hubungan kekerabatan di luar keluarga inti: paman, tante, kakek, nenek, cucu, keponakan, saudara ipar, dan sebagainya. Dalam praktiknya, sistem kekerabatan dipahami lebih luas lagi, bahkan sampai orang yang tinggal sama-sama satu kampung.

Dilanjutkannya, kekerabatan dalam politik. Kader-kader suatu partai politik dipahami sebagai entitas dari kekerabatan politik, dalam hal ini sistem kekerabatan dalam arti luas. Para anggota kader merasa satu nasib dan satu penanggungan meski dalam beberapa kasus, sesama kader terlibat konflik. Dinamika politik terkadang mengantar mereka kepada persaingan menuju target politik tertentu.

Meski demikian, sesama kader adalah tetap keluarga besar partai. Mereka berada dalam satu bingkai: ideologi. Mereka punya ikatan batin dan emosi yang timbul karena bingkai ideologi tadi. Jadi, ideologi menjadi pengikat untuk membangun nilai kekerabatan di dalam suatu partai karena kader dan politisi merasa satu keluarga besar dari partai yang menaunginya.
 
Ketiga tentang balas dendam oposisi. Hingga hari ini kita bisa melihat, adanya upaya jegal menjegal antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Dalam konteks ini terlihat dendam oposisi tidak akan berkesudahan, hingga akhir jabatan Jokowi-JK.

Keempat adalah pengusaha hitam.  Pengusaha hitam ini turut menghancurkan sendi-sendi perekonomian di negara kita. Salah satunya contoh lebih dekat adalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang terjadi di berbagai daerah di Sumatera, dan Kalimantan.

Dirilis dari kompas.com, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan pemeriksaan pada ratusan orang dan sepuluh perusahaan yang disangka melakukan pembakaran hutan dan lahan di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Saat ini, ada 127 orang yang telah ditetapkan menjadi tersangka.

Dengan kondisi tersebut, media darling seharus melihat hal ini, dan pastinya turut membantu menyelesaikan persoalan bangsa, selaras dengan keinginan pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi-JK.

Mumpung perjalanan pemerintahan Jokowi-JK genap satu tahun, peran media darling diyakini akan bisa membantu arah perjalanan pemerintah ke depan. Andai saja ini bisa dilakukan, keberhasilan kepemimpinan nasional periode lima tahun ini akan berhasil untuk merubah berbagai sistem menuju kebaikan di masa mendatang. ***

*) Amril Jambak, peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI) Jakarta

+ Index OPINI
  Selasa, 29/Juni/2021-17:27:57
Aspek Agen Sebagai Aktor Perubahan dengan Pendekatan Ekonomi Perilaku
  Senin, 19/Oktober/2015-10:22:03
Joko Widodo dan Media Darling
  Minggu, 02/Agustus/2015-12:50:50
Catatan Tentang Cinta Da Bas dan Uni Ros
  Sabtu, 25/Juli/2015-10:20:11
Makna Halal bi Halal
  Rabu, 22/Juli/2015-18:11:45
Toleransi Beragama, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI
  Senin, 22/Juni/2015-23:37:17
Ramadahan Menuju Madarasah Rabbaniyyah
  Kamis, 18/Juni/2015-14:58:59
Ramadhan, Momentum Peningkatan Kualitas dan Kapasitas
  Selasa, 16/Juni/2015-16:34:04
Serba Palsu, Siapa yang Salah?
  Jumat, 29/Mei/2015-08:51:08
Simalakama Negeri Jerebu
  Rabu, 20/Mei/2015-16:07:33
Revolusi Mental Menuju Indonesia Lebih Baik
  Minggu, 26/April/2015-18:07:55
Mungkinkah May Day Diisi Acara Positif?
  Selasa, 21/April/2015-16:40:04
Momentum Kebangkitan Indonesia
  Rabu, 15/April/2015-07:23:07
UN 2015, Memperbaiki Sistem Pendidikan Nasional


Home

Redaksi | Pedoman Media Siber | Indeks Berita
© 2012-2022 PT Media Klik Riau, All rights reserved.
Comments & suggestions please email : redaksi.klikriau@gmail.com