Selasa, 07 Oktober 2025
Follow:
Home
Kisah dari Panti Jompo (2)
Marwah dan Sorga yang Dicampakkan
Sabtu, 12 September 2020 - 15:05:58 WIB
 
 
TERKAIT:
   
 
KECANTIKAN masa muda masih terukir di wajah tuanya yang terlihat awet. Sudah 72 tahun tapi kerut merut belum memenuhi wajahnya yang teduh, dengan tahi lalat dekat hidung. Masih seperti perempuan 60-an. Fisiknya tegap, kuat berjalan dan tangannya lincah, memainkan jarum untuk rajutan.

Tapi dia terdampar di sini,  di sebuah Panti Jompo di Kota Pekanbaru, sendiri dan sepi dari kasih sayang keluarga. Makna namanya pun cantik, Cahaya Dunia. Hanya nasibnya tak beruntung. Perempuan yang membesarkan 3 anak dengan berjualan gorengan, kini seolah terbuang.

"Saya tak mau merepotkan anak dan menantu, biarlah saya di sini. Sesekali ada anak datang, sekedar memberi belanja," katanya lirih, suara yang tak  seperti ucapannya, mengibakan hati yang mendengar. 

Maya, perempuan itu, ternyata berasal dari Minangkabau, tepatnya Batusangkar. Negeri matriakat yang memberikan harta ulayat untuk perempuan. Semiskin-miskin perempuan Minang tentu dia masih memiliki sepetak tanah untuk pulang.

"Ada tanah pusaka, tapi sudah sama saudara," katanya sambil menunduk dan memainkan jari tangan. 

Cerita Maya, suaminya meninggal tahun 1990-an, ketika anak bungsunya atau anak ketiga masih berusia 4 bulan. Tak ada rumah, tak ada harta yang ditinggalkan, suaminya hanya pedagang kecil. Dunia serasa runtuh bagi Maya. Tapi dia harus bertahan, untuk 3 anak, yang jadi tanggungannya seorang. 

Maya pun memulai hidup baru, berjualan gorengan hingga donat. Menompangkannya di kedai-kedai dan menjajakan di sekitar kediamannya, di Marpoyan, Pekanbaru. Dia dayung hidup sendirian, agar anaknya bisa makan, bisa sekolah. Hingga pelan tapi pasti waktu bergulir, tua mengejar dan anak-anak mendewasa.

"Ekonomi anak-anak juga susah, saya tak mau jadi beban, ketika ada yang menawarkan tinggal di sini saya terima.  Tempat tinggal, makan minum dan kebutuhan pokok lainnya sudah ditanggung panti," katanya. 

Tapi itu kata mulut Maya. Hatinya siapa yang tau. Dua anak perempuan dan satu anak laki-laki dia punya, dibesarkan dengan tetesan air mata, keringat dan kerja membuat gorengan. Bahkan si bungsu masih disusuinya,  sambil tangan mengaduk gorengan. 

"Saudara satu dua kali bisa dimintai bantuan, setelah itu tak mungkin lagi," ujar Maya.

Entahlah, Maya adalah marwah bagi kaumnya, di ranah minang sana dan sorga bagi anak-anaknya. Tetapi marwah dan sorga itu tercampakkan, dalam hidup yang tidak berpihak. Mungkin dia senang di di sini, cukup makan, ada tempat tinggal, tapi dia adalah sorga bagi anak-anaknya, doanya di dengar Yang Maha Kuasa. Air susunya tak terbalaskan. 

"Sayang saya tak sempat punya rumah, makan dan sekolah anak lebih penting," kalimat terakhirnya serasa menggetarkan jagad raya. Bukankah itu suara terdalam sanubarinya?

Ya, andai Nek Maya punya rumah tentu dia tak terdampar di sini. Dia masih kuat, masih bisa merajut dan membuat gorengan. Jika ada rumah, mungkin dia akan memilih di rumah, meski sendiri, meski sepi. **/diamanda/(bersambung).

 
Berita Terbaru >>
12 Peserta Asal Riau Lolos ke Semifinal dan Final MQKN-MQKI 2025 di Wajo
Injeksi Air Sumbang Tambahan Produksi Lebih dari 1.000 Barel Minyak Per Hari
Rektor Unilak Prof Junaidi Mengukuhkan Ketua IKA Doktor Imran Al Ucok
Rektor Unilak Puji Walikota Pekanbaru Agung Nugroho, Mengapa?
Komdigi dan Indosat Latih ASN Muda Kuasai AI untuk Perkuat Reformasi Pelayanan Publik
Kafilah Riau Matangkan Persiapan Menuju STQ Nasional XXVIII di Kendari
Ketua Harian LPTQ Riau Beri Motivasi dan Pesan untuk Kafilah STQH Nasional 2025
Bupati Afni: Gaji Pegawai Harus Jadi Prioritas, Gaji Saya Bayar Terakhir
Pengurus PWI Pusat 2025-2030 Dikukuhkan, Menkomdigi: PWI Harus Jadi Rumah Aman Wartawan
MTQ Pernah Terhenti Dua Tahun, Bupati Afni Komitmen Tambah Anggaran LPTQ
 


Home

Redaksi | Pedoman Media Siber | Indeks Berita
© 2012-2025 PT Media Klik Riau, All rights reserved.
Comments & suggestions please email : [email protected]