WAAH ini kan Gamalama...," kata ku saat menginjakkan kaki di Bandara Sultan Babullah Ternate, Maluku Utara.
“Iya, turun dari pesawat kau sudah disambut oleh gunung itu. Sudah sampai keinginan mu kesini,” kata suami ku tercinta. Suami yang paham betul hobby dan kemauan istri tomboynya. Suami yang selalu berusaha sebisa mungkin membahagiakan walau kali ini aku tak boleh mendaki Gamalama.
Memijakkan kaki di Ternate dan Tidore menjadi impianku sejak kecil dulu. Tanpa alasan aku begitu terpesona dengan dua pulau ini. Entah karena sejarah atau memang keindahan alamnya, yang aku tahu sama memikatnya.
Gamalama si Gagah yang Misteri
Gunung Gamalama terlihat semakin indah dari Pulau Tidore (istimewa)
Gunung vulkanik satu ini terletak dihampir seluas pulau Ternate dengan ketinggian berkisar 1.715 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Dikelilingi laut serta pulau-pulau seperti Tidore, Hiri, Halmahera, Maitara dan pulau lainnya, Gamalama tampak gagah perkasa ditumbuhi hutan Montane. Hutan pegunungan basah yang selalu ditutupi kabut awan.
Menurut sejarah Gamalama sudah lebih dari 60 kali mengalami letusan. Diketahui letusan pertama gunung molek ini terjadi tahun 1538. Setidaknya sudah empat kali mengalami erupsi besar dengan letusan yang dasyat menutupi langit Ternate. Dan korban terbanyak pada tahun 1775, kala itu erupsi Gamalama melenyapkan Desa Soela Takomi bersama 141 penduduknya. Pasca letusan itu, muncul dua danau yaitu danau Tolire Jaha dan Tolire Kecil, yang berjarak 18 kilometer dari Kota Ternate.
Konon nama Gamalama berasal dari kata Kie Gam Lama yang memiliki arti “Negeri yang Besar” dan sekaligus menjadi simbol kebesaran bangsa yang mendiami Ternate.
Sama seperti gunung api lainnya di Indonesia, Gamalama juga menyimpan cerita misteri yang dipercaya oleh warga sekitar. Ini tak terlepas dari keyakinan masyarakat bahwa Gamalama adalah gunung yang suci. Mereka meyakini jika di puncak gunung terdapat makam orang suci, yakni raja serta Imam masjid di kerajaan Ternate yang menyebarkan ajaran islam di wilayah tersebut.
“Kalau mau mendaki Gamalama tidak bisa dilakukan setiap hari dan tidak boleh sendiri-sendiri. Harus ada warga setempat yang mendampingi. Biasanya ada ritual kecil untuk sampai ke puncaknya,” kata Syaiful Gibrand, seorang teman yang lahir dan besar di Ternate. Oh iya Syaiful ini yang menemani perjalanan kami selama di Ternate.
Sepanjang perjalanan menuju hotel tempat kami menginap Syaiful bercerita, ritual kecil yang dilakukan sebelum menaiki Gamalama tidak bisa diabaikan sebab sudah menjadi tradisi dan diyakini akan membawa hal buruk jika tidak dijalankan.
“Sudah banyak orang yang tersesat dan hilang saat melakukan pendakian, mungkin mereka tidak percaya dengan hal-hal mistis yang diyakini warga,” kata Syaiful mengungkap misteri si merapi yang masih aktif ini.
Berbicara tentang Ternate tidak akan ada habisnya, selain keindahan alam sejarah pulau satu ini menarik untuk dikulik.
Sedikit tentang Kerajaan Ternate
Istana kesultanan Ternate (net)
Istana kerajaan Ternate atau kedaton sebutan bagi warga sekitar berlokasi di pesisir daerah Soa-Sio, Kelurahan Letter C, Ternate, Provinsi Maluku Utara.
Terdiri dari dua lantai, arsitektur bangunan kedaton merupakan campuran budaya setempat dengan Tiongkok. Detail akulturasi dapat dilihat dari beberapa sudut banguna serta tangganya.
Bangunan istana menghadap ke arah laut dan dikelilingi dinding beratap kuning dengan ketinggian kurang lebih 3 meter sehingga menyerupai benteng. Komplek perumahan anggota kerajaan masih berada di sekitar bangunan istana.
Di lokasi yang sama dengan istana terdapat makam raja terdahulu dan masjid jami Kerajaan Ternate.
Hingga saat ini Istana Ternate menjadi tempat tinggal para raja dan keturunannya serta abdi dalem. Namun saat ini kedaton sudah menjadi cagar budaya yang dikelola oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Ternate sejak tahun 1981 silam.
“Biasanya jika solat Jumat raja akan ditandu menuju masjid,” cerita Syaiful yang kebetulan bertempat tinggal tepat di samping komplek kedaton.
Ditempat ini juga disimpan benda- benda peninggalan sejarah milik kedaton seperti mahkota raja, senjata, pakaian kebesaran sultan dan masih banyak lagi.
Papeda yang Menggugah Selera
Selain papeda, warga Ternate juga mengkonsumsi nasi, ubi dan keladi. (net)
Tak lengkap rasanya di Ternate jika tidak mencicipi kuliner khasnya. Sama seperti di Papua, papeda juga menjadi makanan khas bagi orang Maluku Utara, khususnya Ternate. Ada dua jenis papeda di Maluku Utara yakni papeda merah dan putih. Papeda merah terbuat dari pohon sagu sedangkan yang putih terbuat dari ubi kayu.
Menyantap papeda tidak akan terasa nikmat tanpa lauk dan sayuran. Warga Ternate biasannya menyantap papeda dengan ikan kuah asam dan sayur garo. Ikan kuah asam dibuat dari ikan segar yang dibumbui rempah ditambahkan asam jawa untuk memberikan rasa asam padah kuah. Masakan ini lebih mirip dengan asam pedas yang ada di daerah sumatera.
Sedangkan sayur garo merupakan tumisan dari beberapa sayuran seperti daun singkong, jantung pisang, serta bunga pepaya. Perpaduan dari tiga sayuran ini memberi rasa yang khas pada masakan. Kuah asam dan sayur garo bisa juga dimakan bersama ubi dan keladi.
Tidak hanya kuah asam dan sayur garo, Ternate masih memiliki ragam masakan dan panganan seperti dabu-dabu, Bagea serta halua kenari yang merupakan jajanan khas daerah penghasil rempah ini.
Halua kenari biasanya dibuat dan didatangkan dari pulau Makian salah satu pulau penghasil buah kenari di Ternate. Pulau ini bisa kita tempuh dalam waktu 4 jam perjalanan menggunakan perahu dari Kota Ternate.
Merindukan Kie Matubu di Tidore
Kie Matubu berdiri gagah di tengah Kota Tidore (ist)
Belum ke Maluku Utara kalau belum ke Tidore. Ungkapan ini memang layak diucapkan, sebab belum lengkap rasanya ke Ternate jika tidak ke Tidore.
Dalam perjalanan ke Tidore kami ditemani oleh beberapa orang teman yang berdomisili di Ternate.
Kagum dan terpesona itu yang dirasakan selama perjalanan menuju Tidore menggunakan kapal. Meski diguyur hujan, setengah jam perjalanan tak terasa oleh keindahan alam. Gamalama yang jantan semakin tampan dilihat dari lautan. Maitara yang indah semakin menggoda menjual kecantikannya. Bak lukisan alam Pulau Maitara menjadi gambar di uang seribu rupiah.
Memijakkan kaki di pelabuhan Tidore ada rasa haru menyelimuti hati. Bagaimana tidak, Tidore yang selalu aku impikan membalas dengan keindahan.
Kie Matubu yang dirindu tak mampu melepaskan mata ku untuk tetap menatap puncaknya yang ramah. Puncak yang memiliki ketinggian 1.730 meter di atas permukaan laut itu lebih tinggi dari Gamalama.
Itulah sebabnya Kie Matubu masuk sebagai gunung tertingi kedua di Maluku Utara setelah Gunung Sibela di Halmahera Selatan, yang memiliki ketinggian 2.080 mdpl.
Puas memanjakan mata, aku pun beranjak menuju pinggiran laut Tidore. Di pantai ini kami menikmati kopi bage. Kopi beraroma khas ini merupakan minuman raja Tidore yang dibuat dari berbagai macam rempah. Kopi bage diracik dari ramuan kayu manis, cengkeh dan kapulaga.
“Akan lebih lebih kental jika kita meminum kopi di kesultanan Tidore, karena betul-betul diracik oleh ahlinya. Bebeda dari yang lain, kopi ini akan lebih nikmat jika diminum dalam keadaan dingin,” kata Munawir seorang lagi teman ku yang ikut menemani perjalanan kami ke Tidore.
Senja pun menjemput malam di tepi laut Tidore, kami pun harus segera beranjak pulang menuju peristirahatan.
Tak cukup waktu ku untuk Ternate dan Tidore, ada sejarah yang belum sempat terjamah. Rasanya tak salah jika aku kembali kesana. Kembali bertemu Gamalama yang perkasa, dan Kie Matubu yang ramah. (*)
Catatan perjalanan Wina Marhaba
Ternate, Agustus, 2022